twitterfacebookgoogle plusinstagramrss feedemail

Senin, 14 September 2015

Kolonel Sanders "Tiada Kata Terlambat Untuk Bangkit"

Semua dimulai dengan hanya pria berumur enam puluh lima tahun dan seekor ayam...


Pada umur 6 tahun, ayahnya meninggal dunia. Ibunya sudah tidak bisa bekerja lagi, dan Harland muda sudah harus menjaga adik laki-lakinya yang baru berumur 3 tahun. Dengan kondisi ini ia harus memasak untuk keluarganya. Pada umur 7 tahun ia sudah pandai memasak di beberapa tempat memasak. Pada usia 10 tahun ia mendapatkan pekerjaan pertamanya didekat pertanian dengan gaji 2 dolar sebulan. Ketika berumur 12 tahun ibunya kembali menikah dan ia meninggal di rumah tempat tinggalnya dekat Henryville, Ind. Harland berganti-ganti pekerjaan selama beberapa tahun, pertama sebagai tukang parkir pada usia 15 tahun di New Albany, Ind., dan kemudian sebagai pada usia 16 tahun menjadi tentara yang dikirim selama 6 bulan di Kuba. Setelah itu ia menjadi petugas pemadam kebakaran, belajar ilmu hukum melalui korespondensi, praktik dalam pengadilan, asuransi, operator kapal feri, penjual ban, dan operator bengkel.

Pada usia empat puluh tahun, Colonel Sanders mulai memasak untuk turis di bengkelnya yg terletak di Corbin, KY. Namun, bukan datang untuk layanan mobil mereka, ratusan orang mulai datang ke stasiun Kolonel khusus untuk makanan. Jadi ia memperluas baru-dan-bisnis datang dengan bergerak di seberang jalan ke hotel dan restoran yang kapasitasnya 142 orang. Saat memasak di sini, Colonel Sanders menyempurnakan rahasia sebelas campuran bumbu dan rempah-rempah untuk resep khusus yang masih digunakan sekarang.

Dengan teknik memasak khusus, Sanders’ station menjadi terkenal dan ia diakui untuk masakan yang luar biasa oleh Gubernur pada waktu itu, Ruby Laffoon pada tahun 1935 ketika ia membuat Kentucky Kolonel; maka nama Colonel Sanders. Pada tahun 1939, Colonel Sanders 'restoran memenangkan teratas di Duncan Hines "Adventures in Good Eating."
Setelah start-up luar biasa pada tahun 1952, Kolonel meyakinkan dirinya selama sisa hidupnya kepada usaha waralaba ayam. Untuk menyebarkan resepnya yang terkenal, ia membentang negara di mobilnya dari usaha kecil di Kentucky untuk memasak dengan ayam untuk pemilik restoran dan karyawannya. Jika mencintai rakyatnya seperti pelanggan yang lain itu, Kolonel membuat kesepakatan dengan pembentukan, mengatakan bahwa mereka akan membayar satu sen untuk setiap ayam mereka dijual di restoran mereka. Begitu banyak restoran setuju bahwa dengan tahun 1964, Kolonel telah lebih dari enam ratus outlet waralaba di Amerika Serikat dan Kanada untuk ayam. Juga pada tahun 1964, Colonel Sanders memutuskan untuk menjual bunga di Amerika Serikat perusahaan untuk perubahan kecil (hanya US $ 2 juta) untuk faksi kecil investor, seperti John Y. Brown Jr, Gubernur Kentucky dari tahun 1980 sampai 1984. Namun, Colonel Sanders terus menjadi juru bicara publik KFC ® dan pada tahun 1976, ia diangkat menjadi kedua di dunia selebriti paling diidentifikasi oleh survei independen.

Dengan kelompok baru ini investor melaksanakan Corporation, KFC ® diperluas dan matang dengan cepat. Corporation terdaftar pada New York Stock Exchange pada 16 Januari 1969, hanya tiga tahun setelah itu pergi publik pada 17 Maret 1966. Kemudian, setelah perusahaan KFC ® diakuisisi oleh Heublein Inc pada 8 Juli 1971 untuk $ 285 million, perusahaan berkembang menjadi memiliki 3.500 waralaba dan restoran di seluruh dunia.

Selanjutnya, Heublein Inc. yang berikutnya diakuisisi oleh RJ Reynolds Industries, Inc (sekarang RJR Nabisco, Inc) pada tahun 1982, membuat Kentucky Fried Chicken ® sebuah anak perusahaan dari Reynolds. Setelah itu, pada bulan Oktober tahun 1986, PepsiCo, Inc melakukan pembelian sebesar $ 840 juta dari RJR Nabisco, Inc

Namun, pada Januari 1997, PepsiCo, Inc mengungkapkan bahwa itu akan membuat KFC ® dan kecil lainnya restoran cepat - Taco Bell dan Pizza Hut - menjadi perusahaan restoran independen yang dikenal sebagai Tricon Global Restaurants, Inc Perusahaan ini juga menyatakan bahwa hal itu akan mengubah nama korporasi Yum! Brands, Inc dalam bulan Mei 2002. Perusahaan ini, yang sekarang ini memiliki A & W All-American Food Restoran, KFC, Long John Silvers, Pizza Hut dan Taco Bell restoran, adalah restoran utama dunia perusahaan dalam hal sistem unit, memiliki menyesakkan 32.500 unit di lebih dari seratus negara dan wilayah.

Sayangnya, setelah melakukan perjalanan 250 ribu mil setiap tahun mengunjungi restoran di seluruh dunia, Colonel Sanders meninggal karena leukemia pada 16 Desember 1980 pada usia sembilan puluh tahun.

Yang cukup menarik, perusahaan global yg sangat besar ini, semua dimulai dengan hanya pria berumur enam puluh lima tahun dan seekor ayam.... Soo... buat teman - teman yang ingin sukses apakah harus menunggu tua dulu??? Mulailah bermimpi wujudkan mimpi itu mulai dari sekarang,... Kalau bisa suskses diusia muda, kenapa harus tunggu tua???

Chung Ju Yung "Seorang Anak Buruh Tani Yang Hanya Lulusan SD"

Kombinasi Antara Sikap, Kerja Keras, Dan Jiwa Pantang Menyerah...

 Chung Ju Yung adalah salah seorang anak laki – laki tertua dari sebuah keluarga, ayahnya merupakan seorang buruh tani yang berpenghasilan masih terbilang minim bahkan acapkali kurang, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga luar biasa yang turut berjuang dalam mengatur perekonomian keluarga yang dihuni oleh beberapa orang. Walau hidup pas – pasan dan apa adanya, kedua orang tua chung menanamkan sikap dan pribadi yang baik kepada chung dan saudara – saudaranya. Chung termasuk beruntung, ia disekolahkan oleh ayahnya disebuah sekolah terpencil dari sebuah desa pedalaman daerah korea yang terbilang jauh dari rumahnya.

Saat ini Chung telah kelas 4 sd, ibu dan ayahnya sayang sekali padanya. Walaupun berat dalam ekonomi orang tua chung tetap bersabar dan tidak pernah mengeluh serta berkomentar pada chung dalam hal urusan sekolanya. Sampai akhirnya chung naik kelas 5 SD barurah saat itu sang ibu angkat bicara. “ nak sekarang kamu sudah besar, sudah kelas 5 SD. Mulai sekarang kalau kamu mau sarapan pagi kamu mesti antarkan dulu sarapan untuk ayah, kasihan ayahmu berangkat kesawah sejak subuh belum sarapan, setealah ayah sarapan kamu ikut sarapan bareng ayah setelah itu langsung berangkat sekolah, kamu jangan jadi anak egois, jangan sampai ayahmu kelaparan sementara kamu sarapan duluan dan belajar asik disekolah, ibu mau dirumah urus adik – adikmu dulu. Kamu harus ikhlas ya nak…” “ ya buu” jawab chung

Mulai hari itu chung dengan penuh semangat membawa rantang berisikan sarapan untuk ayahnya, walaupun jarak dari rumah kesawah sekitar 8KM namun dengan semangat itulah chung yang notabene seorang anak kecil KELAS 5 SD kuat menjalani hari – harinya dengan penuh perjuangan untuk mendapatkan sebuah sarapan pagi.

Setahun berlalu, kini barulah sang ayah angkat bicara “ nak, kini kamu telah kelas 6 SD itu artinya satu tahun lagi kamu lulus. Nak, ayah mohon maaf tidak bisa melanjutkan sekolah kamu karena ayah hanya seorang buruh tani, disisi lain yanh mesti adil, sekarang giliran adikmu yang sekolah. Jadi setelah lulus sekolah nanti kamu bantu ayah ya untuk bekerja disawah.” Mendengar ayahnya bicara chung seperti mendapat tamparan keras, dengan berat hati chung mesti menerima keputusan sang ayah untuk bekerja setelah lulus.

Pada akhirnya chung lulus SD dengan predikat terbaik disekolahnya, chung pun mendapatkan ijazahnya, ia mulai berfikir untuk apa sekolahnya kalau hanya jadi seorang buruh tani, sayang sekolahnya serta pengorbanan orangtuanya kalau ia mesti mengikuti jejak sang ajah. Dengan berani ia mengutarakan maksudnya pada sang ayah dan memutuskan untuk pergi ke kota seoul  dengan membawa ongkos berangkat saja, cukup pakaian,perbekalan dan selembar ijazah. Sementara itu Ayahnya hanya bisa mengangguk dan memberi senyum sambil meneteskan air matanya melepas kepergian chung. “hati – hati nak semoga doa restu ayah mengantarkanmu mencapai kesuksesan dikota”.
Chung pun pergi kekota tersebut dengan kereta api. Sesampainya disana ia berjalan mengikuti langkahnya yang masih belum pasti. Sampailah ia disuatu tempat yang penuh dengan bahan material dan bangunan serta alat – alat berat. Ia tertegun dan berkata dalam hati “disinilah saya akan mulai bekerja” tiba – tiba seorang mandor berteriak “ hai nak !!! hati – hati jangan main disana, bahaya” “oh ia pak maaf, boleh saya tanya pak, mau dibangun apa disini???” sang mandor menjawab dengan bangganya “ disini akan dibangun sebuah universitas terbesar di korea ” chung tersenyum lalu berkata “ pak, apakah saya boleh melamar kerja disini “ sang mandor kaget “hah??? Apa??? Nak, kamu ini masih kecil, masih harus sekolah dulu, sekolah saja sana sampai besar baru deh kamu kesini lagi untuk melamar pekerjaan..” chung pun menunduk sambil menahan isak sambil berkata dan menjelaskan kondisinya saat ini. “ maaf pak,saya hanya anak dari seorang buruh tani, adik saya banyak, saya hanya disekolahkan sampai SD saja, ayah saya tidak mampu membiayai sekolah saya, jadi saya terpaksa datang dari jauh kesini untuk mencari kerja, untuk membatu prekonomian keluarga, saya gak mau adik – adik saya putus sekolah seperti saya kelak saya hanya punya ijazah ini sebagai modal saya bekerja.” Sambil menunjukan ijazah Sdnya pa sang mandor. Sang mandor yang mendengar cerita chung kecil itupun terketuk hatinya, sambil berfikir sejenak, akhirnya chung diberi pekerjaan. “nak lihat, disana banyak kertas bekas bungkus semen berceceran, mulai besok kamu bekerja disini, datang ya pagi – pagi, rapihkan kertas semen tersebut, ikat setiap 10 kertas menjadi 1 ikatan lalu dikumpulkan, begitu seterusnya” “terimakasih pak” jawab chung “sekarang kamu mau pulang kemana” tanya sang mandor. “ entahlah pak saya tidak ada tujuan,dikota ini saya tidak punya saudara” tukas chung “baiklah tuk semntara kamu tinggal disini saja bareng sama mereka para pekerja proyek” trimakasih pak entah dengan apa saya bisa membalas kebaikan bapak” cukup dengan rajin bekerja dan sikap baik, mudah mudah kamu betah disini, mari saya antarkan menuju mess…”

Sejak saat itu chung mulai bekerja, ia menunjukkan sikap dan teladannya sebagai seorang pekerja dengan datang paling pagi dan pulang paling akhir. Sikap yang bagus dimiliki chung disenangi sang mandor dan teman – teman sesama pekerjanya yang notabene usianya jauh lebih tua dari chung. Chung menganggap mereka sebagai pengganti ayahnya, begitupun sebaliknya chung dianggap sebagai anak layaknya anak kandung oleh mandor dan teman – temannya sesama pekerja.

Bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu sudah. 10 tahun sudah, akhirnya universitas tersebutpun selesai dibangun. Chung sedih karena dengan begini ia kehilangan pekerjaan dan tidak bisa mengirim uang lagi kekampung untuk ayah ibu, serta adik – adiknya. Pekerjaan selesai, ada pertemuan ada jua perpisahan, para pekerja serta mandorpun saling berpamitan pada chung. Chung yang sudah mulai dewasa tetap tegar menghadapinya, dalam hati ia berkata “ini bukanlah akhir dari segalanya”. Sang mandor hanya membekali chung dengan sebuah sertifikat rekomendasi (semacam paklaring) yang berisi tentang sikap chung yang bagus, yang tidak pernah absen dalam bekerja, rajin serta ulet dan tekun. Chung pamitan dan beranjak pergi dari tempat awal ia mencari nafkah 10 tahun lalu.

Berbekal ijazah SD dan paklaring tersebut chung melanjutkan perjalanan hidupnya.  Hari demi hari chung melamar pekerjaan tak kunjung dapat, Sampai akhirnya pada suatu ketika ia melihat sebuah bengkel mobil dan berusaha melamar dengan kesungguhan hatinya. Dengan bangga chung menemui bos bengkel untuk melamar pekerjaan dan menunjukan ijazah serta paklaringnya. “hah, kamu Cuma lulusan SD???” kata sang bos, “ iya pak” jawab chung singkat “tunggu dulu, disini tertulis sikap kamu bagus, tidak pernah bolos, selalu tepat waktu,jujur dan disiplin…” “ ok kamu saya terima bekerja disini,mulai besok kamu bisa mulai bekerja dan belajar disini” bicara sang bos bengkel kepada chung. Chung sangat senang mendengarnya, mulai besok ia tidak lagi jadi pengangguran, ia bisa mengirimkan uang lagi kepada orangtuanya dikampung, dan adik – adiknya tidak akan putus sekolah.

Alhasil setelah beberapa buan chung bekerja disana bengkel tersebut menjadi ramai luar biasa, terbukti dari beberapa antrian kendaraan yang memadati bengkel tersebut untuk menservice kendaraannya pad chung. Bos bengkel pun senang terhadap chung karena sikapnya bengkelnya maju.

Chung mulai menabung sedikit demi sedikit, ia memiliki cita – cita mempunyai bengkel seperti tempat kerjanya sekarang, ia banyak belajar manajemen bengkel disana. Ia pun mencatat semua alat – alat yang dipakai bengkel tersebut sebgai bahan rekomendasi ia untuk memulai usahanya kelak. Sebab ia berfikir jika selamanya bekerja maka yang akan untung banyak adalah sang bos, sementara penghasilan ia sebagai pekerja hanya setara dan sejajar dengan pekerja lainnya. Dalam arti kata penhasilan chung tidak akan pernah berkembang, akhirnya chung memutuskan ingin menjadi pengusaha bukan pekerja lagi.
Uang chung sudah mulai terkumpul dan akhirnya chung bisa membeli beberapa peralatan bengkel dan menyewa tempat usaha seluas 2x3 meter. Bengkel chung pun mulai dibuka. Berkat sikap chung yang telah ditanamkan orangtuanya sejak ia kecil, bengkel chung mulai ramai, sampai – sampai ia kewalahan mengahadapi banyaknya pelanggan. Chung berniat membesarkan bengkelnya, namun tidak ada modal.

Chung bingung dan pada akhirnya ia menemukan ide gila, kenapa dibilang gila??? Karena memang benar – benar gila. Chung berusaha mengirim surat kepada presiden amerika pada saat itu. surat yang berisi mengenai permintaan dana dan bantuan modal usaha untuk bengkelnya. Surat pun terkirim ke gednug putih amerika, seorang ajudan presiden yang menerima surat tersebut tertawa membacanya, ia berfikir surat tersebut merupakan tindakan tidak waras dari seorang anak lulusan SD. Akhirnya surat dari chung pun dirobek – robek dan dibuang ke tong sampah. Sementara disis lain chung menunggu balasan surat tersebut. Ditunggu - tunggu hingga setahun lebih tidak kunjung datang balasa surat itu chung tidak menyerah, akhirnya ia mencoba mengirim kembali surat yang sama,namun tetap tiada hasil sampai 3x ia mengirim tetap tidak ada balasan. Bukan chung jhu yhung namanya kalau menyerah, kali ini ia mencoba mengirim surt yang sama ke italia. Gayungpun bersambut, seorang ajudan yang menerima surat dari chung menyampaikannya pada presiden itali. Presiden itali tersebut benar – benar bangga dan kagum pada chung, ia salut atas keberanian chung yang hanya lulusan SD mengirim surat untuk presiden. Berita tersebut tersebar keseantero itali dan menjadi perbincangan masyarakat sana. Akhirnya sang presiden  mengirim ajudan tersebu ke korea untuk menemui chung.

Sesampainya dikorea dan bertemu chung sang ajudan kaget dan tertawa terpingkal melihat kondisi bengkel chung yang hanya berukuran 2x3 meter yang pada saat itu sempat membuat geger seantero itali. Namun mengingat titah sang presiden sang ajudan tersebut menawarkan bantuan modal untuk chung. Chung menerima dengan gembira, namun chung hanya meminta bantuan untuk melengkapi alat – alat dibengkelnya.

 Pada akhirnya bengkel milik chung perlahan tumbuh membesar. Dan pelanggannya semakin membludak, chung tidak bisa menolak kesuksesannya. Bisnisnya berkembang pesat, setelahnya chung tidak berhenti begitu saja, malahan ia mulai membangun pos – pos uangnya, salah satunya pos uang yang dibangunnya adalah sebuah pabrik mobil pertama dikorea. Berkat sikap dan kerja keras serta sifatnya yang pantang menyerah chung menjadi salah satu orang yang berhasil didunia… kini kita bisa mengenal dan mengenang chung lewat mobil - mobil buatannya.. sulit dibayangkan seorang anak yang notabene hanya lulusan SD dari sebuah keluarga buruh tani  yang tidak mampu, bisa memiliki sebuah pabrik mobil yang mendunia… HYUNDAI adalah buktinya… lalu bagaimana dengan kita?????

Petualangan Lima Sekawan Membangun BSI

Berawal dari usaha kursus kecil-kecilan, kini Bina Sarana Informatika berkembang pesat menjadi akademi pendidikan ternama dan punya 36 kampus. Bagaimana kewirausahaan di baliknya?

  

 “Mulailah berwirausaha dari skala kecil, dan rintislah usaha sedari usia Anda masih muda.” Nasihat ini tampaknya dihayati dan dijalankan betul oleh lima sekawan — Naba Aji Notoseputro, Herman P., Efriadi, Surachman dan Sigit – dalam merintis bisnis pendidikan hingga mencapai sukses seperti sekarang. Bina Sarana Informatika (BSI) menjadi bukti ketekunan Naba dkk. membangun bisnis sendiri dari skala kecil..

 Semua itu berawal pada 1988, ketika lima sekawan tersebut tengah duduk di semester akhir Institut Pertanian Bogor. Di saat mereka belum menyelesaikan kuliah, mereka coba-coba mendirikan lembaga kursus komputer kecil-kecilan di Depok, Jawa Barat. Modal untuk menggulirkan usaha hanya lima unit komputer PC IBM XT 8088 dan kenekatan. Mereka setiap hari bolak-balik Depok-Bogor. “Pagi kuliah dulu di Bogor, lalu siang dan sore meluncur ke Depok untuk ngajar,” tutur Naba, yang bersama teman-temannya memanfaatkan jasa transportasi kereta api Bogor-Depok, yang setiap jam melintas.
 Tidak tanggung-tanggung, di saat perintisan usaha, kelima personel ini terjun melakukan semua hal bersama. Mulai dari menjadi tenaga administrasi, tenaga pengajar, hingga berpromosi dengan membuat dan memasang spanduk di tiang listrik di seputar Kota Depok, semua mereka lakukan sendiri.

 Menurut Naba, proses pengenalan lembaga kursusnya tidak mudah. Saat itu Depok belum seramai sekarang. Depok masih senyap, karena belum banyak mal dan kampus seperti sekarang. Sehingga, sulit mencari siswa. “Dalam sebulan kami hanya mendapatkan lima orang,” kata Naba, Direktur BSI yang kini menginjak usia 39 tahun. Toh, kondisi tersebut tak memudarkan semangat mereka. Bisnis terus dilanjutkan. Dan terbukti, pelan-pelan, dari bulan ke bulan ada penambahan jumlah murid.

 Bahkan, saking optimistisnya, sekitar 6 bulan kemudian Naba dan keempat kawannya menyiapkan tambahan tempat kursus baru di pinggiran Jakarta, persisnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan. “Kami memberanikan diri mengontrak ruko di dekat pasar,” ujar Naba. Setelah itu, berturut-turut mereka membuka cabang baru di Ciputat dan Bekasi di tahun berikutnya dengan sistem kontrak. Namun apa daya, gayung rupanya tak bersambut. Respons pasar tidak seperti yang mereka harapkan: jumlah peserta sedikit. Tak mengherankan, mereka terpaksa menutup cabang di Ciputat dan Bekasi itu. Mereka memang masih mengembangkan bisnis dengan pola trial and error sehingga harus terbentur di sana-sini. Tanpa pengalaman.

 Belajar dari berbagai kegagalan, lima sekawan ini kemudian mencoba mengubah strategi. Setelah sebelumnya mengandalkan pendekatan ritel/individual, mereka lalu mencoba pendekatan institusional. “Kami bekerja sama dengan SMA-SMA,” tutur Naba. Hal ini digabung dengan strategi harga murah. Biaya pendidikan dipatok serendah mungkin agar bisa dijangkau kebanyakan siswa didik. Ketika itu biayanya hanya Rp 10 ribu/bulan tiap siswa. Dari uang siswa sebanyak itu pun, separuhnya dikembalikan ke sekolah yang muridnya dikursuskan di LPK BSI. Hampir semua SMA negeri di Depok diajak bergabung oleh Naba dkk. Ternyata, pola ini efektif karena jumlah siswa BSI terus bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun.

 Perkembangan positif inilah yang menambah optimisme lima sekawan ini untuk makin serius menggulirkan bisnis pendidikan. Maka, pada 1990, setelah melihat pesatnya pertumbuhan, mereka berani membeli lahan seluas 1.000 m2 dan bangunan lima lantai di Pondok Labu, yang mereka jadikan sebagai pusat pendidikan (kampus). Namun, mereka tak merogoh kocek sendiri untuk membeli properti sebesar itu karena memang tak punya cukup uang cash. Mereka meminjam ke Bank Danamon, sebesar Rp 400 juta. Lahan dan bangunan itulah yang dijadikan agunan ke bank. “Kami nekat saja. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa maju?” kata Naba seraya menjelaskan, hari jadi BSI tanggal 3 Maret 1988.

 Naba berkeyakinan, dengan kenekatan dan utang yang besar, mereka pasti terpacu bekerja keras agar bisa mengembalikan utang itu. Terbukti lima tahun kemudian, utang bisa dilunasi. Tentu, ini pun tak lepas dari strategi dan keputusan menaikkan status lembaga, dari pusat kursus biasa menjadi Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) — ditandai dengan pembukaan program pendidikan komputer setahun pada 1994. Praktis, setelah mampu melunasi utang Rp 400 juta itu, pihak bank makin percaya. Bank kemudian berani menawarkan pinjaman baru dengan nilai yang lebih tinggi, mencapai Rp 1 miliar.

 Hanya saja, Naba dkk. tak terburu-buru menerima tawaran kredit baru. Betapapun, pihaknya tetap mesti hati-hati dalam berekspansi. Wajar, tawaran kredit baru senilai Rp 1 miliar itu tak diambil semuanya. Mereka hanya mengambil kredit untuk menyewa gedung dan membeli sarana belajar. Tepatnya untuk pembukaan cabang BSI di pusat kota, di Kramat Raya. Jadi, tidak membeli, hanya menyewa. Ternyata, keputusan itu tepat karena ketika terjadi kerusuhan 27 Juli 1996 gedung kuliah di Kramat Raya ikut terbakar hingga menghanguskan 50 unit komputer, bahan belajar dan data mahasiswa. Berarti kerugiannya hanya ratusan juta. Bayangkan kalau gedung itu milik sendiri, tentu kerugiannnya akan berlipat-lipat.

 Sewaktu krisis moneer, usaha lima sekawan ini benar-benar dalam terpaan badai. “Ketika itu, tiap bulan kami sempat harus bayar utang sampai Rp 60 juta. Kelimpungan juga,” tutur Naba yang asli Purworejo. Untung, berkat upaya untuk terus bertahan yang tak pernah pupus, BSI berhasil survive. Waktu itu manajemen BSI merasa harus bertanggung jawab melangsungkan pendidikan bagi 500 mahasiswa BSI. Tak mengherankan, pascakrisis, kampus BSI di Kramat Raya difungsikan kembali, bahkan ditambah jumlahnya. “Kini kami sudah punya empat gedung di sekitar Kramat,” katanya bangga. Keempat gedung itu masing-masing berlokasi di Kramat Raya 16 dan 168, serta Salemba 22 dan 45. Gedung-gedung baru itu mereka dapatkan dari hasil lelang properti Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang mereka beli total sekitar Rp 5 miliar — lagi-lagi, untuk membeli properti lelang itu, Naba dkk. juga meminjam dana ke bank. Kini, dari 20 ribu mahasiswa BSI, separuhnya kuliah di BSI di Jalan Salemba-Keramat Raya itu.

 Selepas krismon, boleh dibilang perkembangan BSI semakin moncer. Berturut-turut dibuka program baru: sekretaris, bahasa (Cina dan Inggris), serta komunikasi (PR, periklanan dan penyiaran). Tahun 2004, sebagai upaya diversifikasi, mereka membuka Akademi Pariwisata, bekerja sama dengan Inna Garuda. Kampus BSI pun berkembang, selain di Depok dan Jakarta, juga di Tangerang, Bogor, Cikarang, Karawang, Cikampek, Bandung, Tasikmalaya, Purworejo, Solo dan Magelang. Total ada 36 kampus, baik pendidikan informal berupa kursus sampai pendidikan formal akademi dan sekolah tinggi (STMIK Nusa Mandiri).

 Tentu saja, ini menjadi catatan menarik karena ekspansi lembaga pendidikan tidaklah semudah ekspansi bisnis ritel. Maklum, ini melibatkan pula berbagai regulasi dan perizinan yang sering berbelit-belit. Untuk ekspansi, di beberapa kota BSI mencoba melebarkan sayap membangun unit lembaga kursus baru yang kemudian ditingkatkan statusnya menjadi akademi setelah mendapat izin Direktorat Perguruan Tinggi. Namun di beberapa kota, seperti Serpong, Bogor dan Bandung, BSI mengambil alih izin akademi yang telah berdiri. Seperti di Serpong, BSI mengambil alih PTMI yang tidak bisa lagi berkembang, tahun 2004. Di Bogor, giliran AMIK Widya Sarana diakuisisi pada tahun yang sama. Di Bandung, pada 2005 BSI mengambil alih AMIK Mulya Mitra serta Akademi Sekretaris dan Manajemen Bandung. Adapun di Tasikmalaya, BSI mengakuisisi AMIK Sukapura.

 Cara akuisisi BSI bisa disebut unik. Maklum, yang diambil alih hanya izin pengelolaan dan mahasiswanya. Sementara aset gedung dan karyawan, tidak. BSI merekrut tenaga pengajar baru dan mencari lokasi kampus baru setelah mengambil alih pengelolaan. “Mereka tidak concern mengelola dan kalah persaingan,” kata Naba tentang akademi yang diakuisisi. Ia kerap mendapat informasi dari pemerintah dan kolega di asosiasi perkumpulan perguruan tinggi ketika ada akademi yang kesulitan dan mau dijual. Hebatnya, begitu diambil alih BSI, jumlah mahasiswa langsung tumbuh secara signifikan. Menurut Naba, itu berkat brand BSI yang sudah bagus dan sarana pendukung pendidikan yang lengkap meski biaya kuliah terjangkau (sekitar Rp 900 ribu/semester). Apalagi, kini BSI menerapkan biaya kuliah dan fasilitas yang seragam di setiap kampus.
 Jahja B. Sunarjo, pengamat bisnis, melihat BSI menembak segmen yang tepat, karena kini persaingan bagi lulusan sekolah lanjutan untuk masuk ke perguruan tinggi terkenal, sangat ketat. Sehingga, akademi seperti BSI memberikan alternatif. Apalagi, model edukasinya terapan dan bisa cepat diserap lapangan kerja. “Ini memang yang dituntut kebanyakan masyarakat,” kata Jahja. Ia menjelaskan, BSI mampu mengambil ceruk segmen mahasiswa yang ingin cepat kerja dan biaya kuliah tak mahal. Selain itu, BSI adalah kampus pertama yang berhasil menembus paradigma: akademi pantang berpromosi. “Bukan cuma promosi, tetapi juga membangun komunikasi dengan masyarakat. Di luar negeri, ini lumrah saja dilakukan dan menjadi tren,” Jahja menerangkan
 Fauzia Rahma, mahasiswa semester V Manajemen Administrasi ASM BSI, mengaku senang kuliah di BSI. Menurutnya, selain mudah memilih program studi, lokasi kampusnya juga bisa diatur. “Kualitasnya bagus, biaya kuliah juga nggak mahal,” tutur Fauzia kalem. Materi kuliah pun mudah dipelajari karena mahasiswa diberi catatan kecil yang bisa diunduh (download) dari Internet melalui warnet. “Di sini kami juga sering (mengikuti) acara seminar dan workshop yang bisa memberikan gambaran dunia kerja itu seperti apa,” katanya. Yang menurutnya menarik, acara job expo yang digelar dua kali setahun melalui BSI Career. “Cari kerja jadi tidak pusing, saya juga bisa magang.”

 Lima sekawan ini terlihat sangat solid dalam mengelola BSI. Mereka saling mengisi. Pola bagi tugasnya berjalan dengan baik. Hingga kini, Naba mengendalikan operasional BSI, dari akademis sampai perkembangan cabang. Sementara Herman, sebagai Ketua Yayasan. Efriadi mengurusi personalia, kualitas sumber daya manusia dan tenaga pengajar. Surachman menangani penerimaan mahasiswa baru. Adapun Sigit bertanggung jawab atas pemasaran dan promosi. Kelimanya bekerja terus tanpa ada saling iri. Usia kelima sekawan ini masing-masing baru berkepala 3, tetapi mereka tampak dewasa dan arif sehingga bisa menjadi tim yang solid untuk membangun bisnis bersama.

 
 Menuju Cyber Campus
 Mahasiswa biasanya selalu direpotkan dengan urusan administrasi tiap awal dan akhir semester. Di awal semester, selain antre membayar SPP, mahasiswa juga kudu mengambil formulir, berkonsultasi dan mengajukan Kartu Rencana Studi (KRS). Di akhir semester, meski libur kuliah, mahasiswa belum tenang kalau Kartu Hasil Studi (KHS) belum diambil. Lagi-lagi, ini juga harus antre. Administrasi kampus sejatinya sama pula repotnya. Kerepotan inilah yang sudah dipecahkan BSI dengan mengimplementasi teknologi informasi. Melalui Biro TI, sejak 2003 BSI mentransformasi sistem administrasinya hingga sepenuhnya menjadi paperless. “Cuma ijazah yang harus distempel dan ditandatangani satu per satu,” ujar Mochammad Wahyudi, dosen mata kuliah Security System yang juga kepala Biro TI BSI.

 Untuk membayar SPP, mahasiswa cukup datang ke ATM (sejak 1997 BSI bekerja sama dengan BCA; kini, dengan 8 bank) atau menggunakan fasilitas Internet banking dan mobile banking. Untuk mengisi KRS dan KHS, mahasiwa tinggal melihat di Internet: cukup dengan memasukkan nomor induk mahasiswa dan password — bisa juga melalui SMS dan interactive voice responsel. Ujian pun tidak lagi memakai kertas fotokopian karena soal ujian online dari Kantor Pusat BSI di Menara Salemba yang dipancarkan melalui proyektor di tiap ruang kelas.

 Dengan infrastruktur berbasis TI ini, tenaga administrasi dan akademis yang dibutuhkan di tiap kampus rata-rata hanya tiga orang. Bayangkan, dengan jumlah mahasiswa 20-an ribu orang dan 36 kampus, betapa terbantunya backoffice bagian administrasi. Bukan itu saja, bahan kuliah dan ujian juga melalui infrastruktur TI. Silabus, materi kuliah tiap pertemuan, semua bisa diakses melalui Internet. Mahasiswa tinggal datang ke warnet untuk mengunduh dari Internet. Mahasiswa bisa pula bertanya dan berkonsultasi melalui Internet. Tanpa perlu bertatap muka pun, mahasiswa bisa mendapat bimbingan tugas akhir dari dosen melalui Internet. “Siswa dan pengajar dimudahkan teknologi di sini,” ujar Wahyudi. Malah, jumlah kehadiran dosen hingga penghasilan mereka per bulan pun bisa diakses melalui Internet dan telepon seluler. Wahyudi mengklaim, kampus lain belum ada yang menerapkan sistem ini. Yang menarik, sistem ini dikembangkan BSI sendiri.

Sumber :

URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/artikellain/details.php?cid=1&id=5798